Minggu, 05 Januari 2025

Antara Aku Kamu Ketidakpastian

Antara Aku, Kamu, dan Ketidakpastian

Antara Aku, Kamu, dan Ketidakpastian

Malam sudah beranjak larut ketika Safira tiba di rumah. Perjalanan dari kampus ke rumah yang biasanya melelahkan justru menjadi waktu yang ia tunggu-tunggu. Sebab, di sinilah saatnya dia bisa berbicara dengan Arga. Suara lelaki itu selalu menjadi penghibur di sela-sela rutinitas kuliahnya yang padat. Meski jarak dan kesibukan memisahkan mereka, percakapan lewat telepon selalu terasa begitu dekat.

"Kamu udah sampai rumah?" tanya Arga, suaranya terdengar lembut di ujung telepon.

"Udah, baru turun dari angkot tadi," jawab Safira sambil tersenyum, meskipun Arga tidak bisa melihatnya.

Mereka berbicara tentang banyak hal: cerita lucu di kampus, keluhan tentang tugas, hingga mimpi-mimpi sederhana tentang masa depan. Arga, yang sudah bekerja sebagai staf di sebuah perusahaan konstruksi, sering memberikan nasihat yang membuat Safira merasa didengar dan dimengerti.

Namun, semuanya berubah ketika semester baru dimulai. Safira merasa ada yang aneh. Arga, yang biasanya selalu menghubunginya di malam hari, tiba-tiba hilang tanpa kabar. Pesan yang Safira kirimkan hanya centang satu, dan teleponnya tak pernah dijawab. Hari-hari berlalu, dan ketidakpastian mulai menyelimuti hatinya.

Dua minggu tanpa kabar, Safira mulai merasa hampa. Malam itu, ia duduk di kamarnya, memandangi layar ponselnya yang sunyi. Tangannya hampir menghapus kontak Arga ketika sebuah pesan masuk.

"Maaf aku lama nggak kabar, Safira. Aku butuh waktu sendiri."

Pesan itu tidak memberikan penjelasan lebih. Safira merasa bingung dan terluka. Segala kemungkinan berkecamuk di pikirannya, tetapi ia tidak tahu harus bertanya atau menerima.

Tiga bulan berlalu. Safira mencoba fokus pada kuliahnya, meski hatinya masih sering tertuju pada Arga. Hingga suatu hari, ia menerima undangan ulang tahun dari teman kampusnya, Luna. Di pesta itu, Safira tidak menyangka akan bertemu dengan Arga. Pria itu berdiri di sudut ruangan, tampak lebih dewasa dengan jaket kulit hitam dan tatapan yang sama—tatapan yang dulu membuat Safira merasa nyaman.

"Safira," sapa Arga pelan, suaranya penuh rasa bersalah.

Safira hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi Arga, dengan nada tulus, mulai menjelaskan.

"Maaf aku menghilang. Waktu itu aku kehilangan pekerjaan dan nggak tahu gimana harus ngomong sama kamu. Aku merasa nggak cukup baik untuk jadi bagian dari hidupmu."

Mata Safira berkaca-kaca. Ketidakpastian yang selama ini menghantuinya akhirnya menemukan jawaban. Ia merasa marah, sedih, tapi juga lega.

"Arga, aku nggak pernah peduli soal itu. Yang aku butuhkan cuma kamu tetap di sini, berbagi cerita seperti dulu," jawab Safira, mencoba menahan emosinya.

Arga terdiam, menatap Safira dengan penuh penyesalan. Malam itu menjadi awal baru bagi mereka. Tidak ada janji besar yang diucapkan, hanya kesepakatan untuk mencoba lagi, dengan kejujuran dan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian bersama.

Kadang, dalam hidup, cinta memang tidak selalu tentang kepastian. Kadang, cinta adalah keberanian untuk tetap tinggal meski badai menghadang. Dan bagi Safira dan Arga, kisah mereka belum selesai. Mereka masih berjalan di atas jalan yang penuh liku, mencoba mencari cara untuk tetap bersama di tengah ketidakpastian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar