Kita dan Malam yang Penuh Cerita
Part 1: Awal Kisah di Balik Malam
Malam selalu menjadi waktu kita. Di tengah kesunyian, layar ponsel menjadi jembatan yang menyatukan dua dunia yang berbeda. Aku di kamar yang selalu dingin, dan kamu entah di mana, seringkali tidak jelas. Kata-katamu mengalir lancar, seperti aliran sungai yang menenangkan, meski kadang terasa ada batu yang tersembunyi di dalamnya.
"Aku sayang kamu," katamu di setiap akhir percakapan. Suaramu lembut, meyakinkan, tetapi entah kenapa aku selalu merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan.
Kita berbicara setiap malam, menceritakan hari kita, mimpi-mimpi, dan rencana yang seringkali hanya mengawang. Tapi semakin lama, ada pola yang aku sadari. Kamu sering mengubah cerita. Apa yang kamu katakan malam ini, berbeda dari malam sebelumnya.
“Aku baru pulang dari kerja,” katamu suatu malam. Tapi, keesokan malamnya kamu bilang, “Tadi siang aku ada di rumah seharian.” Aku diam. Aku menyimpan pertanyaan itu di hati, tidak ingin merusak malam-malam yang terasa begitu akrab. Tapi, di sisi lain, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.
Aku menyayangimu. Mungkin terlalu. Aku mencintai malam-malam ini, walaupun aku tahu mungkin aku hanya mencintai cerita yang kamu buat. Aku selalu ingin percaya bahwa di balik setiap kebohongan kecilmu, ada kebenaran yang kamu coba lindungi. Tapi, sampai kapan?
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa kamu sering cerita beda-beda?”
Kamu terdiam. Ada jeda yang panjang sebelum akhirnya kamu menjawab, “Aku nggak mau kamu tahu semuanya. Aku takut kehilangan kamu kalau kamu tahu aku sebenarnya.”
Jawaban itu membuat hatiku terpecah. Di satu sisi, aku menghargai kejujuranmu malam itu, tapi di sisi lain, aku sadar bahwa ini bukan hubungan yang aku inginkan. Aku ingin kepastian, bukan cerita. Aku ingin kenyataan, bukan fiksi.
Kini, malam-malam kita tak lagi sama. Aku mulai menjaga jarak, membiarkan pesan-pesanmu hanya menjadi notifikasi di layar. Aku sadar, seindah apa pun cerita yang kita bagi, cinta yang dibangun di atas kebohongan tidak akan pernah memiliki masa depan.
Aku masih menyayangimu, tapi aku lebih memilih menyayangi diriku sendiri.
Malam-malam yang penuh cerita ini mungkin akan menjadi kenangan, tapi aku yakin, aku akan menemukan cinta yang nyata suatu hari nanti.
Part 2: Amarah yang Tak Terjawab
Malam itu, aku tidak bisa lagi menahan semuanya. Kata-kata yang selama ini kusimpan akhirnya keluar, seperti gelas yang terlalu penuh hingga tumpah.
"Kenapa kamu selalu bohong? Aku capek denger cerita kamu yang selalu berubah-ubah!" suaraku bergetar, campuran antara kecewa dan marah.
Kamu di seberang sana terdiam. Untuk pertama kalinya, aku mendengar jeda panjang dalam percakapan kita. "Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu," katamu akhirnya, suaramu pelan.
"Tapi kamu tetap melakukannya," jawabku dingin. "Aku nggak tahu lagi harus percaya yang mana."
Part 3: Perjuangan yang Tak Pernah Usai
Kamu mulai berubah. Aku melihat itu dari caramu berbicara. Tidak ada lagi cerita yang saling bertabrakan. Kamu mulai terbuka, bahkan tentang hal-hal kecil.
"Aku tahu aku sering salah," katamu suatu malam. "Tapi aku bener-bener mau berubah buat kamu. Aku mau kamu percaya lagi sama aku."
Part 4: Pertarungan Hati
Meski aku tahu kamu berusaha, aku tidak bisa menghilangkan rasa curiga itu sepenuhnya. Setiap kali kamu mencoba mendekat, aku selalu melihat bayangan masa lalu.
"Kenapa kamu nggak bisa lihat aku yang sekarang?" tanyamu suatu malam, suaramu penuh emosi.
"Bukan aku nggak lihat," jawabku, "tapi aku nggak yakin kalau aku bisa percaya lagi."
Part 5: Cinta yang Teruji
Namun, kamu tidak menyerah sepenuhnya. Kamu tetap ada, meski tidak lagi mencoba terlalu keras. Kamu tahu, cinta tidak bisa dipaksa.
"Mungkin suatu hari kamu akan percaya lagi sama aku," katamu di malam terakhir kita berbicara panjang. "Dan sampai hari itu tiba, aku akan tetap sayang sama kamu, meski dari jauh."
Part 6: Akhir yang Tak Terelakkan
"Aku udah capek," katamu akhirnya. Suaramu datar, tanpa emosi, tanpa intonasi yang biasanya membuatku berdebar. Aku tahu, kali ini berbeda. Kamu benar-benar lelah.
"Capek gimana?" tanyaku, mencoba mencari celah untuk memahami apa yang sebenarnya kamu rasakan. Tapi di balik suaraku, aku tahu aku takut. Takut kalau ini adalah akhir.
"Capek sama semuanya," jawabmu. "Capek dengan aku yang selalu salah di mata kamu. Capek dengan semua omongan yang nggak pernah ada ujungnya."
Aku terdiam. Kata-kata yang biasanya begitu mudah keluar, sekarang hanya mengambang di udara. Aku mencoba merangkai jawaban, tapi aku tahu, apa pun yang aku katakan sekarang tidak akan mengubah apa pun.
Part 7: Cerita yang Menjadi Kenyataan
Akhirnya, kita berhenti bicara. Tidak ada kata putus, tidak ada keputusan besar. Hanya sunyi, perlahan mengambil alih. Kita tidak saling mencari lagi. Semua cerita yang pernah kita bicarakan, tentang bagaimana kita akan tetap bersama apa pun yang terjadi, berubah menjadi debu.
"Kita terlalu jauh untuk kembali," katamu di suatu malam yang terakhir. Aku hanya mengangguk, meski kamu tidak bisa melihatnya. Aku tahu, ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi.
Cerita yang dulu hanya ada dalam kata-kata kini menjadi nyata. Kita dipisahkan, bukan oleh jarak, tapi oleh kelelahan yang tidak bisa lagi disembuhkan.
Dan malam itu, aku tahu bahwa setiap akhir adalah awal baru. Tapi entah kapan aku bisa benar-benar merelakan.
Part 8: Nyeri Hati Karena Dia
Aku duduk di sudut kamar, memandangi ponsel yang hening sejak tadi. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya sunyi yang menggantung.
"Kenapa dia nggak bisa ngerti perasaanku?" gumamku pelan, mencoba meluapkan rasa sakit yang sejak tadi berputar-putar di kepala.
Dia selalu bilang sayang, tapi kenapa aku selalu merasa seperti pilihan terakhir, bukan yang utama?
Part 9: Apa Aku Penting di Hidupnya?
Suatu malam, aku memberanikan diri bertanya, saat amarah dan rasa penasaran tidak lagi bisa kutahan.
"Menurut kamu, aku ini apa sih di hidup kamu?" tanyaku, suaraku bergetar.
Dia terdiam sejenak, seperti mencari jawaban di udara yang dingin. "Kamu itu penting," katanya akhirnya. "Tapi aku sering bingung harus gimana supaya kamu merasa begitu."
Jawaban itu tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaanku. Penting seperti apa? Penting yang membuat aku merasa istimewa, atau hanya seperti satu daftar panjang yang dia simpan dalam hidupnya?
Part 10: Di Antara Janji dan Kenyataan
Aku pernah percaya dia, sepenuh hati, sepenuh jiwa. Tapi setiap kali dia mencoba meyakinkanku, selalu ada jeda dalam ucapannya, seperti dia sedang menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata.
Di satu sisi, aku ingin percaya bahwa dia akan berubah, bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi di sisi lain, aku tahu bahwa janji tanpa bukti akan selalu tinggal menjadi harapan kosong.
Part 11: Awal Kecurigaan
Hubungan kami mulai terasa aneh. Kamu sering terlihat sibuk, tidak lagi seperti dulu yang selalu ada untukku. Aku mencoba berpikir positif, mungkin kamu sedang banyak pekerjaan atau menghadapi sesuatu yang sulit.
Tapi malam itu, ada sesuatu yang mengganjal. Kamu lupa meneleponku, sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika aku akhirnya menghubungimu, nada bicaramu terdengar tergesa-gesa.
"Lagi apa?" tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman di hatiku.
"Nggak, lagi di luar aja sama teman-teman," jawabmu singkat. Ada jeda di antara kata-katamu, seolah-olah kamu memilih apa yang ingin kamu katakan.
Part 12: Pesan Misterius
Suatu hari, ketika aku sedang menghabiskan waktu di rumah, sebuah pesan muncul di layar ponselmu yang tertinggal di meja. Aku tidak sengaja melihatnya. Namanya tidak aku kenal, tetapi pesannya membuat dadaku berdegup kencang.
"Kamu jadi ke sini nanti malam? Aku sudah rindu."
Hatiku bergemuruh, tapi aku menahan diri untuk tidak langsung menuduh. Aku ingin tahu lebih banyak sebelum mengatakan sesuatu. Ketika kamu kembali ke kamar dan melihat ponselmu, kamu terlihat gugup sesaat, lalu segera mengunci layar tanpa berkata apa-apa.
Part 13: Momen yang Tidak Bisa Dilupakan
Hari itu, aku memutuskan untuk mengunjungimu tanpa memberi tahu. Aku ingin mengejutkanmu. Tapi ternyata, akulah yang terkejut. Dari kejauhan, aku melihatmu bersama seorang perempuan di sebuah kafe. Caramu memandangnya... Itu bukan cara seseorang memandang "teman".
Aku tidak mendekat. Hanya berdiri di kejauhan, melihat bagaimana kamu tertawa lepas dengannya, sesuatu yang jarang aku lihat akhir-akhir ini. Rasanya seperti tubuhku kehilangan kekuatan, tapi aku tahu aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku butuh penjelasan.
Part 14: Pertemuan yang Menegangkan
Malam itu, aku mengajakmu bicara. Kamu terlihat cemas, tapi aku mencoba tetap tenang.
"Aku lihat kamu di kafe tadi," kataku pelan, memperhatikan ekspresimu.
"Oh... Itu cuma teman kerja," jawabmu cepat. Terlalu cepat. Dan ekspresimu terlihat gugup.
Aku hanya mengangguk, tidak ingin membuatmu tahu bahwa aku tidak sepenuhnya percaya. Namun di dalam hatiku, kecurigaan itu semakin tumbuh.
Part 15: Kebenaran yang Terungkap
Beberapa minggu kemudian, semuanya menjadi jelas. Aku melihat foto kalian di media sosial, dia memelukmu dengan erat, senyum bahagia di wajahnya. Caption foto itu membuatku terdiam.
"Hari yang sempurna bersama kamu, sayangku."
Semua yang kamu katakan selama ini adalah kebohongan. Aku merasa marah, sedih, sekaligus hancur. Aku tidak bisa mengerti bagaimana seseorang yang aku percaya sepenuh hati bisa menyembunyikan sesuatu seperti ini.
Part 16: Akhir yang Pahit
Aku menunggumu di rumah malam itu, siap untuk menghadapi semuanya. Ketika kamu tiba, aku menunjukkan foto itu tanpa berkata apa-apa. Wajahmu langsung berubah pucat.
"Aku bisa jelasin," katamu terbata-bata.
"Jelaskan apa? Bahwa aku hanya cadangan selama ini?" suaraku pecah, air mata mulai mengalir tanpa bisa aku tahan.
Kamu mencoba menjelaskan, tetapi aku tidak ingin mendengarnya lagi. Semua yang kamu katakan terasa hampa. Malam itu, aku tahu bahwa cerita kita sudah benar-benar berakhir.
Part 17: Awal Baru
Beberapa minggu berlalu, dan aku mulai menerima kenyataan. Rasa sakit itu masih ada, tapi aku tahu aku harus melangkah maju. Kamu hanyalah bagian dari cerita hidupku, bukan seluruhnya.
Meski aku kehilanganmu, aku menemukan diriku kembali. Dan aku tahu, aku pantas mendapatkan seseorang yang tidak akan membuatku merasa seperti pilihan kedua.